Sabtu, 23 April 2011

kasih


“Kak lapar” rintih adik kecil Alan,
Sebagai satu-satunya keluarga yang tersisa saat ini, ia sangat menyayangi Hani adiknya. Sudah setahun ini ibu yang membesarkan mereka telah dipanggil Tuhan. Ayah mereka pergi ketika ibu mengandung adiknya waktu umur kandungannya 6 bulan, Alan masih umur 5 tahun. Semenjak itu ibu kerja keras membanting tulang, demikian dengannya. Alan memutuskan keluar sekolah ketika duduk kelas 5 SD dan saat ini seharusnya ia duduk di bangku kelas 2 SMP.
“Hani harus sabar, bentar lagi saja kita beli nasinya, sini kakak gendong kalau Hani capek” pinta Alan dengan lembut sambil tersenyum menahan rasa sedihnya melihat adik yang dikasihinya mengerang lapar. Sambil menggendong Hani di punggungya, ia meraba saku celananya sambil menghitung recehan. “Puji Tuhan empat empat ribu rupiah” katanya dengan sedikit mengecilkan suaranya. Dengan uang sebanyak itu hanya cukup untuk makan nasi ditambah tempe, maklumlah mereka tinggal di kota besar.
Di tengah jalan menuju tempat tinggal mereka di kolong jembatan Alan pun membeli nasi di warung langganan dia sering berhutang.
“Mbak, nasi tempe satu ya?” kata Alan
“Iya, adikmu tidur ya? tanya Mbak Wetik, penjual nasi yang telah lama kenal mereka sejak ibu mereka masih ada.
“Iya ni mbak, mungkin kecapekan tadi habis main-main soalnya. Berapa ini mbak” jawab Alan dengan senyum di wajahnya.
“empat ribu aja, mau langsung dibayar atau ngutang dulu?” ejek mbak wetik
“hahaaaa, bayar cash pokoknya. Lho aku kan gak pesen es mbak kok ini ada es teh?” tanyanya sambil mengulurkan kembali bungkusan di plastiknya pada mbak wetik.
“Udah itu bukan buat kamu, itu buat Hani” sahut mbak wetik
“Makasih mbak” Alan pun melanjutkan perjalanan menuju kediamannya di sebuah bilik di kolong jembatan.
Terlihat bilik kardus kecil dari kejauhan, bilik kardus yang dijadikannya rumah. Akhirnya sampai juga, pikir Alan dan langkahnya pun dipercepat karena merasa lelah setelah berjalan jauh menggendong adiknya.
“krekkkk krekk krekkk” bunyi pintu saat dibukanya. Alan langsung merebahkan adik kecilnya di dekatnya. Walaupun hanya beralaskan kardus namun mereka sudah merasa sangat nyaman di sana. “Dek, bangun kita makan dulu” pinta Alan sambil menepuk-nepuk punggung adiknya.
Hani kemudian membuka matanya “Udah sampai di rumah ya Kak? Iya Hani juga sudah sangat lapar”
“Ya sudah sekarang kita makan tapi berdoa dulu, ayo Hani tutup mata ” Bungkusan nasi tempe dibukanya dan tercium aroma sedap makanan.
“ini Kakak suapin” sambil menyodorkan sesendok nasi ke mulut Hani,
“Hani udah gede kak, masa masih disuapin” sahut Hani.
“gede dari Hongkong, kalo sama Kakak gedean mana coba” gurau Alan pada adiknya yang merasa sudah besar. Mereka pun bersukacita, walaupun hanya sebungkus nasi dan harus dinikmati berdua.
Alan sangat sayang pada adiknya, hingga apapun akan diberikan untuk adiknya. Sesaat setelah selesai makan mereka tidur dengan lelap. Terlihat dua bersaudara yang polos mukanya dan masih terlalu kecil untuk hidup tanpa kedua orang tua. Wajah yang kusam karena debu, pakaian yang kucel dan agak sempit kekecilan. Hidup di kota besar memang sangat mengenaskan, hidup kelaparan sudah biasa dilakoninya. Namun tetap saja sangat mengiris hati saat yang kelaparan adalah dua bersaudara yang masih kecil apalagi mereka hidup tanpa orang tua.
Saat terdengar adzan sholat Azhar berkumandang Alan pun terbangun dari tidurnya, ia segera beranjak dan mencoba membangunkan Hani “Hani, Hani kakak ngamen dulu di perempatan. Hani di rumah aja ya?” Hani hanya menguap, namun Alan tetap keluar rumah dan ngamen di perempatan sekitar 1 km dari kediaman mereka. Memang selama ini mereka hidup dengan mengandalkan hasil ngamen. Terkadang Alan harus kejar-kejaran dengan Satpol PP ataupun para preman.
Ketika matahari mulai meredup dan mulai tak mengendap-endap lari dari pandangan, Alan sadar jika saatnya pulang. Ia tahu jika Hani pasti sudah menanti, namun lagi-lagi hasil sore ini hanya bisa untuk membeli sebungkus nasi tahu+tempe dan sebotol air mineral. Peluh cukup membasahi baju Alan yang memang sudah tak tampak warna asli putih bersih sebuah kaos.
“Kakak pulang” teriak Hani kegirangan melihat Alan dari kejauhan. Rasa lelahpun seakan ta ada lagi,wajah yang tadinya lemas dan lesu sekarang berubah drastis. Alan terlihat gembira dan penuh senyum, karena adik manisnya inilah yang membuat Alan mau pontang-panting mencari makan.
“Maaf Hani, Kakak hanya bisa beli nasi satu bungkus saja sore ini” kata Alan pada adiknya.
“Gak apa kok Kak, kita makan bareng lagi. Nanti aku harus disuapin Kakak” clemong Hani, yang ingin Kakaknya tetap bersyukur.
Bilik kecil mereka tampang remang ketika malam karena hanya sebuah lilin bekas yang menjadi sumber cahaya. Seperti biasanya bilik kecil itu terdengar ramai oleh candaan sambil terdengar lantunan lagu-lagu anak-anak. Setelah beberapa saat tak terdengar lagi suara riuh dari bilik kecil itu, dan cahaya yang tadinya terlihat remang kini telah berubah menjadi gelap bersatu dengan malam.
Pagi hari, seperti biasa Alan bangun terlebih dahulu . Ia langsung beranjak memberesakan dan merapikan bilik kecilnya. Selesainya masih belum ada tanda-tanda Hani akan bangun dari tidurnya mungkin karena terlalu lelah bermain tadi malam. Alan memandangi adiknya tanpa kehilangan satu momentpun, terlihat sesekali Hani tersenyum manis. Senyum yang mampu membuat Alan tersenyum juga, dalam senyumnya nampak air mata menetes dari kedua matanya. Entah apa yang ada di pikiran Alan ketika memandangi Adiknya. Ia mengelus dahi Hani, dan sesekali Hani menyingkirkan tangan Alan dari dahinya.
Tiba tiba Hani bangun dan terlihat kebingungan melihat kakaknya mengeluarkan air mata “Kakak kok nangis? Kakak sakit ya, nanti biar Hani aja yang ngamen”
Alan sempat tersentak kaget karena tiba-tiba Hani bangun dan tanpa pikir panjangpun Alan memeluk erat Hani “Kakak sayang Hani, Kakak akan selalu bersama Hani”
“Iya Kak Iya, Kakak ni apa-apaan sih. Hani sesak nafas ni Kak” jawab Hani dengan polosnya.
Beberapa saat kemudian mereka pun sudah parkir di tempat biasa mereka kerja. Saat pagi sampai siang mereka berjualan koran, dengan hasilnya dibagi 80:20 keuntungan. Sangat tidak menguntungkan memang namun ini karena mereka harus mencukupi kebutuhan makan. Ketika sore mereka akan mengamen di perempatan dekat dengan kediaman mereka.
Matahari pun sudah berada tepat di atas mereka, sudah saatnya mereka pulang karena dari pagi belum ada sedikitpun makanan yang masuk ke perut mereka.
Seperti biasa mereka mampir di warung mbak Wetik namun kali ini, mereka bekerja lebih keras sehingga 2 bungkus nasi pun mampu dibelinya. Hani dan Alan nampak puas dengan hasil pagi ini, terlihat dengan senyum yang lebih dari biasanya.
“Kita makan sendiri-sendiri siang ini Kak” celoteh Hani
“Iya kan tadi pagi Hani belum makan jadi Hani pasti sudah sangat lapar, makan yang banyak ya?” jawab Alan dengan sabarnya.
Setelah tiba di rumah, mereka pun segera makan lalu istirahat. Tidak seperti biasanya, Kali ini Alan hanya istirahat sebentar lalu tanpa sepengetahuan adiknya ia pergi. Ia berangkat lebih awal karena 2 hari lagi merupakan ulang tahun Hani, Alan ingin menghasilkan lebih dari biasanya agar bisa membelikan hadiah buat adik kecilnya.
Sebelum sore menjelang, Alan terlihat berjalan pulang dengan wajah sumringah.
“Besok, aku akan membelikan boneka buat Hani. Hasi hari ini sungguh luar biasa” pikirnya
Setelah beberapa saat, Alan terlihat sejenak berhenti kebingungan. Tidak dilihatnya Bilik kecil miliknya lagi, sekarang seluruh bangunan ilegal di kolong jembatan telah bersih. Alan berlari kencang sambil berteriak-teriak memanggil adiknya.
“Kakak” sahut Hani, yang muncul dari balik tiang listrik.
“Rumah kita dibongkar polisi Kak” katanya sambil terisak tangis.
“tapi hani gag apa-apa kan? Hani baik-baik aja kan?“ Tanya Alan sambil memandangi Hani dan memegang kedua bahunya.
“iya kak, tapi kita tidur dimana?” Hani dengan tangisnya
“Yuk kita cari tempat berteduh” jawab Alan sambil menggandeng tangan adiknya untuk mencari tempat berteduh di malam hari.
Setelah beberapa jam menelusuri jalanan kota, Alan dan Hani pun berhenti di depan sebuah toko yang memiliki emperan kecil di depannya, toko tersebut hanya buka di siang hari saja. Kardus pun di siapkannya lalu di lapisi dengan sarung yang diambilnya bersama sebuah selimut dari sisa-sia kediaman yang telah dirubuhkan petugas tadi siang.
“Kita istirahat di sini ya? Kita makan lalu tidur” kata Alan dengan pelan karena sudah sangat lelah.
“iya kak, Ayo kak kita makan. Kok kakak malah tidak makan?” tanya Hani karena melihat Kakaknya tidak ikut makan.
“ohh, kakak sudah tadi di jalan. Hani aja yang makan, Hani pasti lapar” Sebenarnya Alan memang belum makan, karena ingin berhemat agar bisa membelikan boneka sebagai hadiah ulang tahun Hani.
Malam itu hujan turun cukup deras, hingga dinginnya serasa menusuk tulang-tulang Alan. Selimut ia balutkan semua pada Hani karena terlihat Hani menggigil kedinginan. Belum puas beristirahat tiba-tiba terdengar hentakan kaki di sebelah Alan.
“Hey, bangun!!! Pindah dari sini, ini sudah pagi!! Dasar gelandangan” dengan mata yangbelum terbuka penuh Alan melihat sesosok Pria besar membentak-bentaknya.
“Iya-iya, tunggu sebentar ya Pak” sambil gemetar ketakutan dan mencoba membangunkan Hani.
Setelah mencari tempat yang cukup sepi, Alan pun berhenti dan menurunkan Hani dari gendongannya. Alan tersentak kaget setelah menyentuh dahi adiknya, ternyata Hani sedang sakit. Mungkin karena semalam mereka tidur hanya di emperan toko, badan hani panas dan nampak pucat.
“Hani sakit?” tanya Alan
“Hani hanya pusing Kak” jawab Hani dengan rintih karena memang ia merasakan pusing.
“Tunggu sebentar di sini, biar kakak beli makan dan obat buat Hani” sambil menaikkan selimut ke tubuh Hani.
Setelah beberapa saat Alan datang dengan membawa sebungkus bubur ayam dan obat turun panas serta sebotol air mineral.
“Ini, dimakan dan diminum obatnya biar Hani cepet sembuh dan bisa ikut Kakak lagi jualan koran. Besok Hani ulang tahun, kakak nanti belikan hadiah buat Hani” sambil menyuapi adiknya.
Sesaat selesainya makan, Hani tertidur dan Alan pergi kembali untuk mengamen.
3 jam serasa sangat lama bagi Alan karena pikirannya masih ada pada Hani yang berada di tempat emperan bekas toko. Walapupun baru mendapat sedikit uang Alan memaksakan untuk kembali ke tempat dimana ia meninggalkan adiknya. Di perjalanan Alan membeli roti dan sebuah boneka kecil untuk Hani.
“Kakak kok sudah pulang?” tanya Hani, karena tidak biasanya kakaknya pulang lebih awal.
“Kan Hani sedang sakit, jadi Kakak pulang cepet. Ini Kakak ada hadiah buat Hani, tapi rotinya dimakan ya. Lalu obatnya diminum lagi” pinta Alan sambil tersenyum
“Yeee, Hani dapat boneka. Makasih ya Kak, Hani bakal cepet sembuh kok” Hani berteriak riang
Ketika waktu menjelang maghrib, hujan deras pun mengguyur kota. Serasa air bah turun, apalagi bunyi halilintar di sana sini. Angin juga bertiup kencang sore itu hingga hawa dingin pun kembali dirasakan. Alan dan Hani kembali berjalan dengan Hani berada di gendongan Alan, Alan hanya mampu berjalan pelan dan terlihat sangat lelah. Apalagi dari sore kemarin dia belum makan sama sekali.
Mungkin karena sudah sangat lelah, hingga melihat emperan toko Alan berhenti dan menata tempat untuk ditiduri. Memang di situ masih banyak orang berlalu lalang, namun tidak dipedulikan Alan karena memang sudah sangat letih.
“Malam ini kita istirahat di sini, rotinya masih separo Hani makan itu saja ya? Besok kakak kerja lagi biar Hani bisa makan nasi lagi.” Kata Alan sambil tersenyum menyembunyikan kesedihannya.
“iya kak, tapi Kak Alan tidak lapar” sahut hani
“enggak, hani makan aja” Alan masih menyembunyikan rasa lapar disertai rasa lelah yang luar biasa.
“Kak, Hani kangen mama. Andai mama masih ada ya Kak” kembali Hani, anak yang masih kecil itu mengumbar pikiran polosnya.
“Hani, mama sudah ada di surga. Besok kita juga akan menyusulnya. Saat ini Hani sama Kak Alan dulu” kembali Alan meneteskan air matanya mendengar kata-kata adiknya.
Mereka terlihat tidur berpelukan, dan di tengah-tengah mereka terselip boneka babi milik hani yang dibelikan Alan tadi siang. Walaupun masih banya orang lalu lalang di depan emperan toko tadi karena malam masih sekitar pukul 22.00.
pagi harinya terlihat banyak orang berkerumun di depan emperan toko, orang-orang berjubel ingin melihat kejadian di sana. Dan terlihatlah dua sosok tubuh tanpa nyawa di depan emperan toko, terlihat sangat ceria. Setelah polisi datang maka jelaslah bahwa itu adalah jenasah anak kecil kakak beradik yang sering berada di perempatan untuk berjualan koran. Alan dan hani pun menyusul ibunya ke surga dengan sukacita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar